Kesempatan sebenarnya selalu ada, tetapi hanya orang-orang yang siap jasmani dan rohani yang bisa mendeteksi kesempatan. (hal. 65)
Judul: 12 Menit
Penulis: Oka Aurora
Penerbit: Noura Books
Tahun: 2013
Halaman: 348
ISBN-13: 978-602-7816-22-6
I rate it 5/5 stars
Setiap orang punya mimpi, tapi tak setiap orang mempunyai niat yang besar untuk mewujudkan mimpi. Beberapa dari mereka merasa cukup dengan apa yang mereka dapat sekarang. Namun sebagian lagi mempunyai tekad yang besar untuk mewujudkan mimpi, meski ‘perjalanan’ yang harus mereka tempuh tidaklah mudah. Mereka berani karena mereka percaya usaha mereka tidak akan sia-sia.
12 Menit adalah novel yang menceritakan tentang mereka yang tak takut mewujudkan mimpi. Ya, pada awalnya mereka skeptis akan terwujudnya mimpi-mimpi itu. Namun, seiring berjalannya waktu, setelah banyaknya kata-kata indah yang akhirnya berhasil merasuki jiwa mereka, dan setelah mereka berhasil mengalahkan diri mereka sendiri, mereka akhirnya percaya bahwa mereka bisa meraih mimpi. Nasib mereka akan berubah, apabila mereka bersungguh-sungguh dalam berusaha.
Elaine, tadinya bersekolah musik di Jakarta. Namun, ia harus mengikuti jejak ayahnya untuk pindah ke Bontang. Elaine ingin sekali melanjutkan bakatnya dalam kelompok marching band Bontang sebagai seorang field commander. Sayangnya, nasib tak berpihak pada Elaine. Ayahnya menganggap segala hal tentang musik tidak ada gunanya. Hanya menyia-nyiakan waktu dan tenaga. Ayahnya bersikeras menentukan pilihan hidup Elaine.
Tara, tanpa menyerah berusaha menguasai tiap rudiments pada snare drum meski pun ia memiliki gangguan pendengaran. Ia selalu berusaha untuk masuk dalam tim inti, berusaha sekuat mungkin agar tidak dipandang sebelah mata karena kekurangannya. Akan tetapi, saat ia sedang dalam perjalanan menggapai mimpinya, ia selalu dihantui masa lalu. Tara takut untuk terus melangkah maju dalam perjalanan mewujudkan mimpinya.
Dan.. Lahang, hidupnya yang susah tidak membuatnya menyerah begitu saja pada takdir. Ia terus berusaha mempelajari fouettes, meski selalu dimarahi karena pikirannya tidak fokus dan selalu saja terlambat datang latihan. Ia selalu memikirkan ayahnya yang sakit. Dilema antara ikut GPMB ke Jakarta atau malah diam di samping tempat tidur ayahnya, membuang mimpinya jauh-jauh.
Keempat orang ini dipertemukan oleh hal simpel, yaitu marching band. Bersama-sama mereka mewujudkan mimpi, saling menyemangati, dan saling bekerja sama membentuk sebuah tim yang selaras. Membuktikan pada orang-orang di luar sana bahwa siapa pun bisa jadi JUARA!
“…saya hanya bisa saran: hadapi masalah kamu satu per satu. Selesaikan satu demi satu. Menghabiskan sepiring nasi nggak mungkin dalam sekali telan, kan?” (hal. 258)
Membaca 12 Menit jujur saja mengingatkanku akan masa SMA. Aku dulu juga berniat untuk mengikuti marching band dan sempat mendaftarkan diri menjadi calon cadet band. Saat itu aku mudah sekali menyerah, hingga baru latihan hari pertama yang berupa latihan baris-berbaris saja aku sudah mengeluh sendiri, memutuskan untuk keluar saja. Padahal itu bukan apa-apa. Aku jadi malu kalau ingat saat itu. Pecundang sekali, bukan? -,-
Aku jadi tambah malu saat membaca buku ini. Aku tidak punya masalah apa-apa, hidupku baik-baik saja, tapi waktu itu aku malah memutuskan untuk menyerah. Sedangkan keempat tokoh sentral di buku ini terus saja berusaha tanpa mengenal kata menyerah meski masalah mereka sama-sama rumit. Aku menjadi semakin malu pada diri sendiri.
Selain sebagai cerminan diri, 12 Menit juga membuatku termotivasi. Minggu ini jadwal kuliah mulai aktif dan tanpa aku sadari aku mendadak down. Aku bukan lagi promosi, tapi aku rasa membaca 12 Menit sebelum kuliah benar-benar memotivasi, meski tidak maksimal. Aku termotivasi untuk merubah cara belajarku yang abal-abal, menekankan target, dan berusaha untuk mengurangi kadar berhura-hura. Tanpa aku duga, keempat tokoh di 12 Menit berhasil membuatku malu. Aku bertekad untuk lebih bersemangat dan berani dibanding mereka.
Selama membaca 12 Menit, selain introspeksi diri dan termotivasi, aku merasa nyaman membaca buku ini, bukannya tertekan dan merasa sedang diceramahi orang. Oka Aurora patut diacungi dua jempol karena berhasil menulis sebuah buku motivasi yang memiliki objek langka, yaitu marching band. Saat menceritakannya pun Oka tidak berlebihan ‘membawakan’ objek marching band tersebut, malah menurutku porsinya sudah pas. Aku bisa merasakan teriknya matahari siang saat latihan marching band. Aku juga terkadang teringat sedikit rudiment pada snare drum yang dulu sempat aku curi dengar.
Di tiap bab, kita bukan disuguhkan dengan paragraf lanjutan dari paragraf akhir bab sebelumnya. Kita akan dialihkan dengan kegiatan masing-masing tiap tokoh sentral secara bergantian. Pergantian setting dan tokoh ini sama sekali tidak mengganggu. Menurutku, tiap tokoh sentral memiliki porsi masing-masing yang tidak berlebihan. 12 Menit diceritakan melalui sudut pandang orang ketiga, jadi pergantian tersebut tidak akan membuat pembaca bingung. Membaca sampai bab dua atau tiga saja kita sudah langsung bisa beradaptasi dengan buku ini.
12 Menit merupakan salah satu buku yang tak pernah kuduga akan membuatku terharu. Ya, di beberapa bagian, entah kenapa aku mendadak mellow sampai nangis sesenggukan segala. Bukan menangis sedih, namun tangis bahagia. Ada juga sih menangis karena sedih dan merasa nggak tega. Selain membuatku menangis, buku ini juga terkadang membuatku kesal. Bukan terhadap kisahnya, melainkan terhadap satu tokoh yang paling mampu membuat saya terus-menerus naik darah, Josuke, ayahnya Elaine. Penjajah-cita-cita-orang yang satu itu selalu saja membuatku marah-marah sendiri.
Untuk kekurangan buku, aku rasa tidak terletak pada tipografi atau kepiawaian Oka Aurora dalam menulis kisah 12 Menit ini. Tapi ada satu hal yang mengganjal pikiranku, yaitu adanya tokoh lain yang muncul tiba-tiba di bab ke-sekian. Aku kira tokoh tersebut turut serta meramaikan perjalanan menggapai mimpi, ternyata tokoh-yang-datang-tiba-tiba itu hanya disebutkan di satu bab yang bersangkutan saja, tidak ada kabar lagi mengenai mereka. Dari sini aku jadi mikir, untuk apa tokoh itu diberi jatah ‘hidup’ di beberapa lembar 12 Menit kalau hanya sekadar untuk sekali lewat saja? Aku rasa ada atau tidaknya kisah tokoh tersebut tidak berpengaruh apa-apa pada kisah keempat tokoh sentral kita.
Recommended for everyone. Buku yang benar-benar memotivasi. Mengajarkan kepada kita siapa pun yang berusaha dengan sungguh-sungguh, pada akhirnya pasti akan memetik hasil sesuai dengan usaha. Tidak ada yang tidak mungkin. Setiap orang punya hak masing-masing untuk meraih mimpi dan menjadi pemenang. Siapa pun dan darimana pun ia berasal.
“Aku masih hidup, Lahang. Kau juga masih hidup. Maka hiduplah. Jangan seperti orang mati.” (hal. 105)
…Karena kunci untuk merasa bahagia adalah mengenali kesedihan. (hal. 165)
“Mengalah itu bukan berarti kalah, kok, Dek. Kalau kamu nggak mau ngalah, kamu bukan hanya ngorbanin dirimu sendiri, Sayang. Kamu akan mengorbankan seratus dua puluh anak.” (hal. 208)
dulu pengen baca buku ini karena pengen ikut lomba reviewnya, karena nggak dapet pinjaman ya udahlah, mungkin belum jalannya untuk ikut tapi tetep kepengen baca juga :)
ReplyDeleteHwahaha aku baca buku ini juga karena lomba itu, Sulis. Itu pun taunya dari kamu! :p
Deletesering ngelirik buku ini kalo ke tobuk, tapi cuma dipegang untuk ditimbang-timbang beli atau jangan :D but you gave 5/5 stars for this book, that increases my curiosity :D
ReplyDeleteAku kasih 5 bintang soalnya unik. Emang sih tentang motivasi dan nggak ada the mainstream theme called love. Tapi aku suka banget mereka bawa2 nama marching band. Oh ya, kalau nggak salah waktu itu aku pernah baca review temen, katanya marching band Bontang ini memang keren banget pas tampil GPMBnya. Ada di YouTube. :))
DeleteMakasih infonya, udah aku liat di youtube, emang keren dan bikin merinding kalo liat marching band. Cerita motivasi, inspired by true story, bisa bikin mbak Linda nangis pula, pantas deh mbak Linda ngasih 5 stars, pasti banyak karakter positif yang bisa kita teladani dari tokoh-tokohnya :)
DeleteYup, mereka tangguh semua soalnya. Berani ambil resiko. Wajib ditiru, tapi.. susah banget nirunya! *ngerasa cetek* x(
DeleteCovernya + 5 bintang yg kamu kasih buat buku ini bikin tertarik untuk beli bukunya. makasih reviewnya :)
ReplyDeleteAyo dibaca! Kali aja buku ini menyulut semangatmu juga! :D
DeletePengen bgt baca buku ini, soalnya buku ini penuh motivasi banget, tapi sayang blum punys uang untuk beli :") *loh kok malah curhat*
ReplyDeleteNabung 2ribu tiap hari selama sebulan udah bisa dapet buku ini lho, Yun. x)
Deleteaku juga sudah baca buku ini, bukunya menarik 4 bintang untuk buku ini
ReplyDelete^^
Delete