Monday, 23 February 2015

[REVIEW] Allegiant

"Orang selalu membentuk kelompok. Itulah faktanya. Aku hanya tidak menyangka kejadiannya akan secepat ini."
"Kelompok macam apa?"
"Yang ingin meninggalkan kota. Orang-orang ini menyebut diri mereka Allegiant—Setia."
(hal. 30)

Judul: Allegiant
Seri: Divergent #3
Penulis: Veronica Roth
Penerjemah: Nur Aini dan Indira Briantri Asni
Penerbit: Mizan Fantasi
Tahun: 2014
Halaman: 496
ISBN: 978-979-433-837-7
Harga: Rp65000,-
I rate it 4/5 stars


*this review contains spoiler of the previous book, Insurgent. But I'll try my best to not spoil the last book*

Video Edith Prior tentang dunia luar yang berhasil ditunjukkan Tris Prior membuat penduduk kota lagi-lagi terbagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama yang diketuai oleh Evelyn, ibu Tobias Eaton yang tadinya dikira mati, bersama para factionless yang memilih untuk bertahan di dalam kota, mengambil alih kekuasaan. Sedangkan kelompok kedua yang diketuai oleh Cara dan Johanna, diam-diam membentuk kelompok bernama Allegiant, kelompok yang setia mengikuti titah Edith Prior: mengumpulkan para Divergent lalu keluar dari dalam kota untuk melihat apa yang ada di luar Chicago.

Cara dan Johanna memilih orang-orang yang bisa diandalkan untuk kabur dari Chicago, yaitu Tris, Tobias Eaton, Tori WuChristina, Uriah, Peter, dan.. Caleb (ini pun karena permintaan ikhlas nggak ikhlasnya Tris). Cara memimpin mereka keluar perbatasan, sedangkan Johanna tetap tinggal untuk memantau Chicago.

Mereka berhasil keluar perbatasan, masuk ke tempat yang merupakan inti dari masalah pembagian faksi. Satu gedung dimana tempat muasal segalanya bermula, Biro Kesejahteraan Genetika. Di sanalah mereka akan mengetahui penyebab didirikannya kelima faksi, juga fakta mengenai Divergent yang selama ini mereka anggap pemberontak.

"Kalau begitu, biar kuberi tahu. Aku tidak akan pernah menggunakan simulasi supaya keinginanku dituruti. Kematian adalah pilihan yang lebih baik." —Evelyn (hal. 32)

Jika di buku pertama aku dibuat deg-deg-an karena Tobias (sudahlah, Lin!), lalu di buku kedua aku terpesona sama Jeanine juga perang yang terjadi di sana, dan di buku ketiga yang tadinya aku berharap akan buat aku senyum despite too much dead tragedy that happened here, aku malah nangis and a bit disappointed. Eh, ini bukan spoiler kan ya? *lalu Linda ditendang*

Salah satu hal yang ada di benakku saat pertama kali membaca serial ini adalah: yang pembagian faksi itu kan Chicago, gimana dengan negara bagian Amerika yang lain, mungkin nggak sih kalau di sana juga ada pembagian faksi seperti di Chicago?

"Dear, Linda," kata Roth, "Allegiant ntu jawaban dari pertanyaan elu. Udah baca, kan? Gimana? Puas?"
"NGGAK, ROTH! NGGAK! Maksudku okelah. Tapi alasan pembagian faksi... cuman itu? Blah!"
"Yetapi itu elu kasih bintang empat! Nape elu bilang 'blah'?!"
"Aku khilaf, Roth.." :'(

Nggak sepenuhnya menolak alasan pembagian faksi itu sih. Cuman ya, agak nggak sreg. Apalagi kenyataan kalau selama ini Biro menonton apa yang terjadi di tiap sudut Chicago. Dan mereka itu memang cuman nonton. -_- Tentang jawaban atas pertanyaanku tadi, ummm, baca sendiri lah ya. :p

Saatnya serius nge-review. Iya yang tadi itu entah apa.

"Kau tahu apa yang Abnegation pernah katakan tentang rasa bangga? Mereka bilang perasaan itu membutakan orang akan kebenaran dirinya sendiri." —Tris (hal. 292)

Tidak seperti buku satu dan dua, buku terakhir ini akan diceritakan melalui sudut pandang Tris dan Tobias. Jadi, beware yang ngepens berat sama Tobias! Jangan khilaf!

Dari penyampaian dua sudut pandang itu, aku nggak terlalu bisa ngebedain yang mana Tris dan yang mana Tobias kalau di awal bab nggak disebutin nama mereka dulu. Soalnya memang sama aja. Ini antara Roth yang nggak berhasil membagi diri menjadi Tris dan Tobias atau terjemahannya yang gagal. Tapi kalau dilihat lebih dalam lagi, dari dua sudut pandang itu kita bisa lihat kalau kepribadian Tris dan Tobias itu bertolak belakang banget: yang satu preman, yang satu kalem. Sayangnya di penyampaiannya itu, masih belum kelihatan mana yang Tris mana yang Tobias, just like what I've said tadi.

Aku menikmati perjalanan mereka di buku ini, dimulai saat mereka mencoba keluar perbatasan untuk melihat apa yang ada di dunia luar. Aku agak deg-deg-an pas bagian ini, ikut menebak-nebak gimana kondisinya. Sempat kepikiran pas mereka keluar perbatasan, mereka ketemu kota yang normal seperti sekarang, lalu Tris dkk jalan-jalan ke mall bareng gitu. Tentu saja tebakan garing yang barusan itu nggak bener, guys. Dunia luar yang mereka temui sama bahayanya seperti dunia yang mereka tinggali sebelumnya.

Aksi perang atau pemberontakan yang ada di buku ini nggak sebanyak di buku dua, jadi aku masih sempet ngambil nafas untuk persiapan pemberontakan berikutnya. Nggak seperti di buku dua yang menurutku memang cukup intense. Di Allegiant, aku suka selipan romance-nya Tobias dan Tris, masih bikin senyum-senyum sendiri meski mereka lebih sering berantem. :v Perkembangan karakter? Yang paling kelihatan itu Tris. Berubah jauh, pokoknya. Tobias masih sama aja, begitu juga dengan tokoh lain. Karakter favoritku di serial ini... Jeanine? HAHAHA. Karakter yang lain belum bisa membuatku terkesan, termasuk Tris yang jadi terkesan terlalu superior atau Tobias yang entah kenapa jadi kelihatan terlalu kalem.

Untuk ending.. nggak ini bukan spoiler. Hanya saja ending yang dipilih Roth emang nggak mainstream. Kalau kalian selesai baca buku ini lalu kaget lalu pengin nendang bukunya sambil nangis ya nggak apa-apa, atau malah mengerutkan dahi trus geleng-geleng kepala juga nggak apa-apa. Aku awalnya sedih, tapi akhirnya move on dan menerima ending yang diberikan Roth. *face palm* *ngebayangin aku pites-pites Roth* :|

This is not my favorite series tapi termasuk serial yang ending-nya nggak akan pernah aku lupain.

...dunia ini begitu besar sehingga tidak mungkin kita kendalikan, bahwa kita ternyata tidaklah sebesar yang kita kira. (hal. 180) 
Pertalian darah lebih penting daripada faksi--bukan, cinta lebih penting dari pada faksi, selalu. (hal. 201) 
"Kenapa menghabiskan begitu banyak waktu dan energi untuk memerangi suatu hal, padahal bukan itu masalah yang sebenarnya?" —Tobias (hal. 241) 
Ketika terasa tepat, cinta membuatmu melebihi dirimu sendiri, lebih dari yang kau tahu.
"Kau tahu, aku mencintaimu," ucapku.
"Aku tahu," timpalnya. (btw, ini kok mirip Hunger Games ya: real or not real? real.) :|
(hal. 386)

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...