Thursday, 6 December 2012

[REVIEW] Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin


Judul: Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin
Penulis: Tere-Liye
Desain sampul: eMTe
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: 2012
Halaman: 264
ISBN: 978-979-22-5780-9
I rate it 3/5 stars

So bad aku cuman ngasih bintang segitu. Mau gimana lagi? It’s the final score! Haduh, kayak main bola aja ada final score-nya hahaha. Ya pokoknya istilahnya begitu. It’s unusual, bukan? I love Tere-Liye’s novels so much. Tapi sekarang malah ngasih 3 doang. Tadinya aku malah pengen ngasih 2, lho. Hahaha. *digampar rame-rame*

Yeah, I’m trying to be objective kalau nge-review. Jadi, meskipun aku suka sama kebanyakan novel pengarang yang satu ini, aku nggak pengen pura-pura suka karyanya yang sebenarnya nggak aku suka. Like this one! Well, I love the story. Tapi ada beberapa hal yang menurutku nggak masuk akal.. dan absurd. Juga ending-nya yang cliffhanger banget. Wajar kalau (misal) ini salah satu novel berseri, tapi nyatanya bukan. Ini cerita tunggal. Nggak ada Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin 2 atau Daun yang Jatuh Selalu Mencintai Angin.

Ini kenapa langsung review? Mana sinopsisnya? Okay, the next paragraph, deh!

Dan karena aku sudah berikrar akan selalu menuruti kata-kata dia, maka saat dia mengusap rambutku malam itu sebelum pulang dari toko buku, dan berkata pelan: “Belajarlah yang rajin, Tania!”, aku bersumpah untuk melakukannya.
Sumpah yang akan membuat seluruh catatan pendidikanku kelak terlihat bercahaya. Sempurna! -Tania(page 33)

Adalah Tania, seorang gadis kecil yang tiga tahun ini kehidupannya memburuk dikarenakan meninggalnya sang ayah. Ia beserta adik laki-lakinya yang bernama Dede dan ibunya tinggal di rumah kardus di dekat tempat pembuangan sampah. Tepat di dekat pohon linden yang kokoh dan indah menapakkan akarnya. Di tempat inilah semua cerita berasal. Di saat itulah malaikat itu datang menjanjikan masa depan yang cerah. Dan nantinya, di sana pula cerita ini akan berakhir..

Suatu malam, saat Tania dan Dede mengamen di bus, tanpa sengaja paku payung menancap di kaki Tania yang tak mengenakan alas apa pun. Adiknya hanya meringis. Tania hanya bisa mencabut paku payung sambil menahan tangis. Saat itulah malaikat itu datang. Dia menolong Tania. Membersihkan lukanya. Dan memberikan uang sepuluh ribuan. Untuk beli obat merah, katanya.

Namanya Danar. Mereka berdua tahu namanya karena setelah hari itu, dia selalu menunggu mereka di bus kota. Mendatangi rumah mereka dengan keceriannya yang selalu mendatangkan semangat positif. Dan dua minggu setelah pertemuan tak disengaja itu, ia yang menyekolahkan Tania dan Dede. Saat itu keduanya masih SD.

Usiaku menjelang sebelas tahun. Adikku enam tahun. Dan dia dua puluh lima tahun. Aku cemburu. -Tania(page 40) 
Aku masih terlalu kecil untuk mengerti perasaanku sendiri. -Tania(page 43)

Sejak saat itu, hidup mereka membaik. Mereka tak lagi tinggal di rumah kardus. Dia memang sudah seperti malaikat bagi keluarga itu. Membantu mereka tanpa pamrih. Menjadi bagian dari keluarga kecil Tania. Malangnya, Tania yang masih kecil menaruh perasaan lebih padanya. Bukan perasaan seorang adik kepada kakaknya. Bukan pula perasaan seorang anak kepada ayahnya. Juga bukan perasaan menghormati akan apa yang dia lakukan pada keluarga itu. You know, lah, perasaan seperti apa. :p

Bukan salah Tania kalau ia menyimpan perasaan itu sejak ia masih berkepang dua. Juga bukan salah dia yang selalu ada untuk keluarga itu. Tania tidak meminta perasaan seperti itu datang padanya, bukan? Tania juga sebenarnya tidak mengerti perasaan macam apa itu. Ia baru menyadari ada rasa cemburu saat Danar dekat dengan ‘cewek artis’ itu, namanya Ratna.

Bagaimana urusan cinta Tania yang ‘weird’ ini nanti? Akankah ia mampu jujur pada Danar? Bagaimana pula perasaan Danar terhadap Tania? Baca sendiri, ya.

Ketahuilah… daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan. Mengikhlaskan semuanya. –Danar(page 63)

Kisah ini sebenarnya hanya berlangsung sejam lebih. Dari jam 9 malam sampai jam 9 lewat 17—ditambah dengan hanya jam 9 esok paginya. Murni kisah yang diceritakan secara flashback melalui sudut pandang Tania. Seorang gadis kecil yang dulunya bukan siapa-siapa namun nantinya menjelma menjadi seseorang yang berguna, berkat malaikat itu! Setiap bab dibuka dengan Tania yang memandang dari lantai dua toko buku terbesar di kota itu. Yang nantinya dia akan menceritakan detail kisah ini dari awal hingga akhir. Sejak ia pertama kali bertemu dengan malaikat itu.

Kalian yang cuman baca review aneh-bin-nggak-jelas ini pastilah nggak bakal ngerti kenapa Tania bisa segitu cintanya sama orang yang udah kepala dua begitu. Ya soalnya aku nggak bisa ngegambarin dengan tepat gimana sosok Danar. Pokoknya nggak bisa sedetail itu ngegambarinnya seperti Bang Tere. Aku juga awalnya nggak ngerti kenapa Tania udah mematri hati cuman buat satu orang itu doang mana si Danar udah tua gitu lagi. Tapi setelah lama-lama aku pelototi, Danar itu memang everything banget lah buat keluarga mereka. Berani jamin, tanpa ada tragedi paku payung itu, Tania bukan siapa-siapa nantinya. Berkat Danar juga, Tania jadi sukses, bukan? Ada untungnya juga Tania jatuh hati sama cowok tua begitu. *eh

“Kamu mungkin lebih cantik, lebih pintar daripada ‘cewek artis’ itu sekarang, Tania. Tetapi lebih cantik dan lebih pintar saja tak cukup untuk menarik perhatian cowok sedewasa dia. Kamu tetap remaja tanggung baginya. Remaja yang menyebalkan.” –Anne (page 124)

Karakter Tania yang pekerja keras, selalu memegang janji, pantang menyerah, dan dewasa ini lovable banget. Jarang nih ada abege di novel yang begini. Tania ini merupakan salah satu orang yang punya semangat hidup gede karena cinta! Demi Danar, dia akan menjadi cantik dan dewasa. Demi Danar, dia akan menjadi orang sukses! Hebat, kan? Energi cinta yang positif! Cocok banget buat ditiru! Nah, ucapan Tania yang demi-demi-demi ini sedikit buat aku jleb juga. Soalnya aku pernah gitu—demi “ehem” aku akan lulus SNMPTN. #SalahFokus #MalahCurcol

Terus karakter Danar. He’s lovable, actually. I used to love him, by the way—sebelum baca  bagian akhirnya huehehe. Baik, suka nulis novel, ganteng, charming, menyenangkan, rendah hati banget. Sebutin aja satu-per-satu sifat baik, itulah Danar—on my first perception. He looked perfect. Tapi, nggak, kok. Dia nggak segitu perfect-nya. Tiap manusia pasti ada dark side-nya juga, kan? Saat baca ending, aku baru sadar, kalau Danar nggak se-perfect itu. Tukang fake. Menurutku, itu julukan yang pas banget buat Oom/Kak Danar. Aku bahkan nggak ngerti kenapa respon seseorang sedewasa Danar begitu jadinya di akhir cerita. I don’t know, lah. Terserah Danar. (?) By the way, I hate him so much.. in the end!

Ada juga temannya Tania, Anne. She’s the best friend ever. Baik bangeeeet. Selalu ada saat Tania butuh teman curhat, selalu ngasih petunjuk apa yang harus Tanian lakukan terhadap ini-itu, selalu ngasih pendapat objektif juga. Duh.. kok jadi pengen belajar filsafat seperti Anne, ya? Hahaha. Harus kalian catat, nih, aku lebih suka Anne daripada Tania. *eh

Karakter yang paling aku suka di sini adalah Dede. Iya, adiknya Tania. Menurutku, Dede ini adik yang pinter, rame, pokoknya menghormati kakaknya. Gegara adiknya Tania ini, aku jadi pengin nyoba main Lego huehehe. Paling lucu pas pertama kali Dede makan bebek peking itu. Awalnya dia protes ini-itu tentang bebek, ujung-ujungnya si bebek ludes juga dia makan, kecuali bagian PANTATNYA. Huahaha tos dulu dong, Dede. Aku juga jijik sama pantat bebek! :p

*TernyataPantatBebekAdalahAlasanMengapaSangReviewerSukaDede*

Okay, jangan pikirin pantat bebek. Intinya, novel ini sebenernya bagus, kok. Ada banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari seorang Tania ini. Salah satunya menjadikan cinta sebagai energi positif. Bukan untuk galau-galauan—meskipun Tania juga kadang galau, memangnya siapa sih yang nggak pernah galau? Aku pikir ada untungnya juga Tania cinta sama Danar. Kalau dia nggak pernah segitu cintanya sama Danar, mungkin dia nggak akan lulus bachelor degree jurusan Commerce NUS (National University of Singapore) hanya dalam waktu dua setengah tahun dengan GPA sempurna, bukan?

Satu bintang untuk pohon linden dan paku payung. Bintang yang kedua untuk Dede dan bebek pekingnya. Sedangkan bintang yang terakhir, untuk banyak pesan yang kudapat dari buku ini.

Prinsip hidup itu teramat lentur. Prinsip itu akan selalu berubah berdasarkan situasi yang ada di depan kita, disadari atau tidak. (page 144) 
Orang-orang yang sedang jatuh cinta memang cenderung menghubungkan satu dan hal lainnya. Mencari-cari penjelasan yang membuat hatinya senang. (page 166) 
Dalam urusan perasaan, di mana-mana orang jauh lebih pandai “menulis” dan “bercerita” dibandingkan saat “praktik” sendiri di lapangan. (page 174) 
“Kebaikan itu seperti pesawat terbang, Tania. Jendela-jendela bergetar, layar teve bergoyang, telepon genggam terinduksi saat pesawat itu lewat. Kebaikan merambat tanpa mengenal batas. Bagai garpu tala yang beresonansi, kebaikan menyebar dengan cepat.” –Danar(page 184) 
Bahwa hidup harus menerima… penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti… pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami… pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. -Dede(page 196)

11 comments:

  1. bang tere liye memang cenderung membuat ending novel yang menggantung hehe
    bikin gemes
    overall, aku menikmati proses dan pelajaran yang aku petik dari membaca buku ini, walau harus sedikit kecewa di ending yang nanggung

    ReplyDelete
  2. Setuju! Di awal sampai penghujung bab akhir aku suka bacanya. Tiba di ending... duh.. >,<

    ReplyDelete
  3. Akhirnya itu bikin bengong -_-

    ReplyDelete
    Replies
    1. nggak nyangka banget ya bakal cliff-hanger banget gitu. :D

      Delete
  4. di perpus sekolah pernah aku beliin novel ini, tapi aku malah belum pernah kebagian baca, nanti kalo udah nggak ada yang ngantri, aku bakal baca bukunya Tere Liye yang satu ini :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kapan2 baca aja deh mbak. Emang sih endingnya agak ngegemesin. Tapi perjalanan kisah di novel ini menurutku bagus dan enak untuk dinikmati. :D

      Delete
    2. Tere Liye mah paling suka Berjuta Rasa-nya ;)

      Ini reviewnya:
      http://luckty.wordpress.com/2012/10/12/review-berjuta-rasanya/

      Delete
    3. Aku juga suka sama buku itu. Udah baca dan udah aku review juga. :D
      *mampir ke tempat Luckty*

      Delete
  5. Novel-novel Tere Liye memang suka banyak pesan kehidupannya. Makanya saya suka banget novel-novelnya.. XD Ya, dan saya setuju novel yang satu ini kurang enak endingnya. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yup, buku-bukunya simple tapi ngena. ^^
      Gara2 cliff-hanger ending yak? :p

      Delete
  6. ahahaha, barusan juga aku kelar baca ini mbak. sama, kasih tiga bintang juga :) :)

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...