Saturday 16 March 2013

[REVIEW] If I Stay

Ini tidak benar. Ini tidak mungkin terjadi. Kami hanya keluarga biasa, bepergian dengan mobil. Ini tidak nyata. Aku pasti tertidur di mobil. Tidak! Stop. Kumohon, berhenti. Kumohon, bangunlah! Seharusnya napasku berasap. Tapi tidak. Aku menatap pergelangan tanganku, yang tidak tampak terluka, tidak tersentuh darah, tidak robek, dan aku mencubitnya sekeras mungkin. 
Aku tidak merasakan apa-apa. –Mia (page 19)

Judul: If I Stay
Seri: If I Stay #1
Penulis: Gayle Forman
Penerjemah: Poppy D. Chusfani
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun: 2011 (first published 2009)
Halaman: 200
ISBN: 978-979-22-6660-3
I rate it 3/5 stars

Yang namanya manusia nggak akan bisa menebak hal apa yang akan terjadi pada dirinya atau orang di sekitar pada detik berikutnya. Manusia cuman bisa berharap segalanya akan baik-baik saja dan semua rencana berjalan sesuai apa yang diharapkan. Tidak terlintas akan hal buruk yang kemungkinan terjadi. Mungkin memang terlintas, sedikit, tapi kemudian membuang jauh-jauh pikiran tersebut.

Seperti Mia Hall dan keluarganya. Mereka hanya ingin berkunjung ke salah satu rumah kerabat. Menjalin erat hubungan persaudaraan. Tak pernah terbersit kejadian yang buruk menimpa mereka sekeluarga sekaligus, dalam hitungan detik.

Ya, naas bagi mereka. Licinnya salju memang ‘memaksa’ para pengendara untuk berhati-hati. Namun, hati-hati saja tak cukup untuk menghindari kejadian itu. Kecelakaan itu terjadi cepat sekali. Beberapa detik lalu mereka berdebat tentang musik apa yang akan diputar, sedetik lalu Mia memejamkan mata menikmati musik dalam rasa damai, dan detik berikutnya hidup mereka tak akan sama lagi..

Kedua orangtua Mia meninggal dalam kecelakaan—JANGAN suruh aku menjabarkan kondisi tubuh mereka sesaat setelah kecelakaan, saat membacanya aku nggak sanggup ngebayangin! :( Kondisi adiknya tak jelas. Sesaat terjadinya kecelakaan, Mia hanya menemukan ayah dan ibunya, juga tubuhnya yang terjorok ke dalam selokan.

Dalam kondisi antara hidup dan mati, Mia kembali merenungi hal-hal yang terjadi dalam hidupnya bersama keluarga yang kini pergi. Hal-hal yang membuat ia ingin mati saja. Namun di sisi lain, Adam, kekasih yang sangat mencintainya, ingin dia tetap bertahan dan hidup. Juga sahabatnya, Kim. Manakah yang akan Mia pilih? Hidup tanpa keluarga atau mati meninggalkan Adam, Kim, dan cello yang sangat dicintainya?

“Kau tidak mengatasinya. Kau hanya perlu melaluinya. Kau bertahan.” –Ayah Mia (page 27)

Telat banget aku baru baca buku yang katanya buat ‘mewek’ ini sekarang. Maklum lah ya, tahun kemarin aku lagi bersihin sarang laba-laba di rumah batu. Nggak lucu? Yaudah. Nggak ngarep juga ini bakalan lucu. -,-

Alasan pertama baca buku ini: katanya temen-temen BBI pada nangis pas baca buku ini. Alasan kedua: katanya juga Adam itu cowok keren. Alasan ketiga: umm.. ini alasan dari aku, iya.. aku suka banget sama cover aslinya. Yang ada gambar cewek itu loh! Nggak, aku nggak naksir sama tuh cewek (aku normal!), aku cuman heran kenapa aku bisa secantik itu pas pemotretan book-cover. *silahkan muntah dan close page ini! -_-*

Setelah membaca buku ini..

Tanggapan terhadap alasanku yang pertama: well.. aku suka cara Forman memaparkan If I Stay melalui sudut pandang orang pertama, yaitu Mia. Dengan begitu kita bakalan tahu gimana sih perasaan kehilangan yang dirasakan oleh sosok Mia ini. In conclusion, Mia galau banget! Nggak, aku nggak nyalahin Mia karena dia galau. Wajar kalau dia galau gitu. Kalau aku jadi dia, aku pasti galau setengah mampus! Um.. lebih tepatnya dilema kali ya. Dilema mau hidup atau mati aja biar masalah selesai.

*still remembering the scenes in this book*
*udah agak lama bacanya, makanya lupa*

Bagaimana aku bisa memutuskan? Bagaimana mungkin aku hidup tanpa Mom dan Dad? Bagaimana aku bisa pergi tanpa Teddy? Atau Adam? Ini membingungkan. –Mia (page 76)

Sosok Mia memang bikin kasihan. Namun, entah mengapa sepanjang aku membaca buku ini, aku belum juga menangis. Hehehe maaf deh, mungkin ini karena pengaruh nonton Malam Minggu Miko. (?) Sempat sih berkaca-kaca, itu pun bukan karena Mia, tapi karena keluarganya. Perkenalkan, namanya Teddy dan aku pengin ngacak-ngacak rambutnya sampai dia kesal! Entah kenapa aku sayaaaaang banget sama adik Mia satu-satunya itu! Saking sayangnya aku langsung nutup buku sejenak pas tahu gimana akhirnya keadaan Teddy. *akhirnya nangis juga*

“Mia, Mia, Mia. Inilah dirimu yang kusuka. Kau memang berpakaian lebih seksi dan, kau tahu, pirang, dan itu berbeda. Tapi dirimu malam ini sama dengan dirimu yang membuatku jatuh cinta kemarin, sama dengan dirimu yang akan membuatku jatuh cinta besok.” –Adam (page 86)

Tanggapan terhadap alasanku yang kedua: bisa dibilang Adam itu cowok keren. Dia anak band. Dan aliran musiknya bukan aliran musik jazz-nya Frank Sinatra. Dia ‘penganut’ musik yang ‘keras-keras’lah.. (bahasa macam apa ini? -,-) Sempat membuatku kaget juga karena Adam ternyata cinta sama Mia, cewek pendiam yang suka banget main cello—jenis alat musik yang dijamin bukan untuk mainin lagu yang ‘keras’.

Pendapatku mengenai cowok yang satu ini.. dia baik, aku akui itu. Dia tulus, aku bisa lihat itu. Dia pengertian.. mm.. nggak terlalu. Dia ‘agak’ egois dengan memaksa Mia untuk tetap tinggal. Untuk sekarang, aku berpendapat bahwa cowok yang satu ini memang keren, namun belum bisa ngebuat aku jatuh hati. :p

Alasan yang ketiga nggak perlu kukasih tanggapan apa-apa lagi deh.. -__-

“Orang-orang memercayai apa yang ingin mereka percayai.” –Kim (page 65)
"...Bahkan dipenjara akan terasa mudah dibandingkan kehilanganmu." –Kim (page 181)

By the way, tokoh favoritku di sini selain Teddy adalah sahabat Mia, yaitu Kim. She's such the best friend ever! Aku mau dong ya punya sahabat yang sekeren itu. Huehehe. Hey, Mia.. your life is beautiful. You have the best friend in the world and boyfriend who loves you so much and also very nice talent in playing cello! You know that, right? :)

Secara keseluruhan, novel ini keren. Terjemahannya juga enak dibaca, tapi aku nggak tahu terjemahannya mengubah ‘cara’ Forman menulis atau nggak. Aku kan belum pernah baca bukunya Forman versi English. Tipografi juga lulus. Nggak ada kata-kata ‘nyeleneh’ yang tertangkap mata. Enak dibaca pas sore hari nggak ada kerjaan karena hari hujan. Rekomendasi: silahkan dibaca saat kalian lagi di-php-in cowok/diputusin cowok/sedih gara-gara hal terserah-karena-hal-apa. Biasanya kalau lagi sedih, bacaan sedih langsung jadi luar biasa sedih ya.. huahaha. XD

Daripada ngelantur, aku sudahi saja review yang satu ini. Tenang.. review buku keduanya bentar lagi nyusul untuk di-publish. Huehehe.. happy reading, people! Keep calm and ‘make review’! *kata-kata penyemangat untuk diri sendiri yang malas buat review*

6 comments:

  1. Aku suka buku ini dan Where She Went tapi nggak sampe nangis. Bacanya ngebut pas weekend langsung 2 buku. Ahahaha...
    Aku lebih suka Where She Went karena Adam lebih ekspresif ketimbang Mia yang dingin sifatnya. Jadi lebih ngerti perasaan dan pikiran Adam

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku juga ngebut bacanya, Mbak. Selese baca buku satu langsung ke buku dua. Tinggal nge-reviewnya aja yg males. XD

      Where She Went keren! <3

      Delete
  2. Saya malah gak gitu dapet mood sedihnya buku ini :|
    menurutku ceritanya malah datar banget :|

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jadi penasaran sama anak BBI yang pada nangis sesenggukan gegara buku ini. Mereka yang terlalu perasa atau kita yang hatinya sekeras batu sampai nggak tergugah melihat Mia? :)

      Delete
  3. Kalo aku waktu baca novel ini sih nangis pas bagian waktu Teddy *sensor T_T
    Lalu ada kata-kata Gramps yang bikin aku merinding :
    “Tidak apa-apa. Kalau kau mau pergi. Semua orang ingin kau tinggal. Aku ingin kau tinggal lebih daripada apa pun yang kuinginkan di dunia ini. Tapi itu kemauanku dan aku bisa mengerti mungkin itu bukan kemauanmu. Maka aku hanya ingin memberitahumu bahwa aku mengerti jika kau pergi. Tidak apa-apa kalau kau harus meninggalkan kami. Tidak apa-apa jika kau ingin berhenti berjuang.” :') *so touched

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku malah nggak nangis sama sekali huahahaha. xD
      Tapi iya, kalimatnya Gramps yang itu bikin terharu. :))

      Delete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...