Penulis : Tere Liye
Penerbit : Penerbit Republika
Tahun : 2008/Cetakan VIII, Juli 2011
Halaman : 363
ISBN : 978-979-1102-26-1
Dan sungguh di surga ada bidadari-bidadari bermata jeli (Al Waqiah:22). Pelupuk mata bidadari-bidadari itu selalu berkedip-kedip bagaikan sayap burung indah. Mereka baik lagi cantik jelita (Ar Rahman:70). Bidadari-bidadari surga, seolah-olah adalah telur yang tersimpan dengan baik (Ash-Shaffat:49).
Usai membaca buku ini, genaplah rasa jatuh cintaku pada buku-buku Tere Liye. Selalu saja mengangkat tema yang biasa menjadi luar biasa. Dan selalu saja berhasil membuatku menitikkan air mata. Entah itu terharu atau ikut merasakan sesak seperti para tokohnya. Meskipun kali ini tangisanku tidak membabi-buta seperti saat membaca Hafalan Shalat Delisa waktu lalu, novel ini tetaplah menjadi novel indah yang mempunyai ciri khas tersendiri.
Ditulis secara apik dan menggambarkan watak setiap tokoh dengan porsi yang tidak berlebihan. Tere Liye memang ahli membuat pembaca tidak rela melepaskan novel-novelnya. Terus saja ada hasrat ingin membaca lebih. Tidak ingin berhenti. Terhanyut dalam kisah yang menyentuh moral. Dan kali ini.. aku terhanyut dalam keindahan kisah hidup keluarga yang penuh pengorbanan di Lembah Lahambay..
Laisa, anak sulung dari lima bersaudara itu, mengorbankan diri sendiri demi adik-adiknya. Rela berhenti sekolah demi adiknya. Biarlah.. biar Lais saja yang berhenti sekolah. Membantu Mamak di ladang, demi mendapatkan uang sekolah adik-adiknya. Rela malu demi adik-adiknya. Rela mendengar bisik-bisik yang menyakitkan hati karena Laisa memang memiliki fisik yang jauh berbeda dari adik-adiknya yang cantik, tinggi, dan tampan itu. Dan rela melakukan apa saja agar adik-adiknya tetap sekolah dan menjadi orang besar.
"KAU ANAK LELAKI DALIMUNTE! Anak lelaki harus sekolah! Akan jadi apa kau jika tidak sekolah? Pencari kumbang di hutan sana seperti orang lain di kampung ini? Penyadap damar? Kau mau menghabiskan seluruh masa depanmu di kampung ini? Setiap tahun berladang dan berharap hujan turun teratur? Setiap tahun berladang hanya untuk cukup makan! Kau mau setiap tahun hanya makan ubi gadung setiap kali hama belalang menyerang ladang? Hah, mau jadi apa kau, Dalimunte?" -Laisa (page 60)
Kak Laisa selalu menepati janjinya. Janji ia sebagai sulung. Janji yang ia ucapkan kepada Babaknya dulu. Berjanji untuk menjaga adiknya sampai Babaknya kembali. Dan ternyata Babaknya tidak pernah kembali, tubuhnya hancur dirobek sang siluman, harimau besar di Gunung Kendeng yang menjadi momok penduduk kampung. Dan janji itu bersarang di hatinya. Janji yang akan melindungi adik-adiknya. Janji akan Kak Lais yang tidak pernah terlambat menolong adik-adiknya. Janji seribu kunang-kunang. Dia yakin, kelak adik-adiknya akan menjadi orang sukses yang akan melihat beribu cahaya terang di belahan dunia lain.
Janji dan keyakinan Kak Laisa memang benar adanya..
Adiknya yang tertua, Dalimunte, sekarang sudah menjadi Profesor dengan istri yang cantik dan salehah dan dikaruniai anak yang bernama Intan (yang sibuk sekali gembar-gembor tentang gelang karet 'Safe The Planet'-nya). Dalimunte sibuk dengan penelitian fisikanya tentang Badai Elektromagnetik Antar-Galaksinya. Dirinya yang sekarang merupakan refleksi masa lalunya. Pekerja keras. Mematuhi perintah Kak Laisa. Kerja keras! Kerja keras! Kerja keras! Dan dirinya kini memang sukses besar. Itu semua karena Kak Laisa. Dia memang belajar segala hal dari kakaknya, ahli dalam berbagai hal, meski dia tahu Kak Laisa tertinggal jauh di belakang..
Ikanuri dan Wibisana. Kakak-beradik yang seperti kembar. Tapi mereka lebih dari anak kembar. Dua sigung nakal, itu julukan kecil yang diberikan Mamak pada mereka. Mereka punya pabrik kecil yang merupakan representasi dari hobi masa kecil. Mengutak-atik mobil. Dan sekarang mereka menuju Roma. Mengadakan presentasi di dekat kedai kopi Piazza de Palozzo. Nekad. Itu tepatnya saat menuju Roma. Mereka berdua menikah di tanggal yang sama. Tanggal lahir anak mereka yang juga sama. Mereka juga tinggal di rumah yang berdekatan, sehingga anak mereka selalu menghabiskan waktu bersama, dan tentu saja anak mereka mewarisi sifat seperti ayahnya. Selalu saja pinter ngeles dan berhasil kabur dari kejaran Kak Laisa yang membawa sapu lidi ketika mengejar dua sigung nakal itu..
Yashinta, gadis bungsu di keluarga itu. Tumbuh menjadi gadis yang cerdas dan cantik. Kecintaannya terhadap alam karena dulu Kak Laisa pernah membawanya menemui berang-berang lucu. Selain menjadi peneliti dari lembaga penelitian dan konservasi alam di Bogor, ia juga koresponden foto National Geographic. Sekarang ia sedang menguntit Peregrin persis di tubir kawah Semeru bersama dua orang temannya. Dia penakluk alam yang baik. Dia kan belajar dari ahlinya..
Hidup tak pernah berjalan datar-datar saja.
Ditengah kesibukan mereka yang terbilang penting dan berharga itu, sebuah pesan masuk ke nomor HP mereka yang satunya. HP urusan keluarga. Nomor handphone yang hanya diketahui oleh mereka berenam. Belum sms itu dibuka, di belahan dunia yang berbeda, di perbedaan waktu yang berbeda pula, pesan itu dengan cepat meluncur ke setiap nomor HP urusan keluarga itu. Pesan dari Mamak Lainuri.
"Pulanglah. Sakit kakak kalian semakin parah. Dokter bilang mungkin minggu depan, mungkin besok pagi, boleh jadi pula nanti malam. Benar-benar tidak ada waktu lagi. Anak-anakku, sebelum semuanya terlambat, pulanglah.." (page 1)
Pesan itu bagai meteor yang langsung menembus tulang mereka. Bagaimana mungkin Kak Laisa sakit? Dalimunte langsung meninggalkan Simposium Fisika Internasional dimana ia sedang menjelaskan sekilas tentang Badai Elektromagnetik tadi. Tanpa memedulikan tatapan kecewa dari berbagai peserta. Ikanuri dan Wibisana yang baru saja sampai di bandara Roma, langsung mencari cara untuk kembali ke Indonesia. Tidak peduli dengan presentasi esok hari. Dan Yashinta, yang sedang terpesonanya oleh Peregrin, langsung lari lintang pukang dari Semeru. Meninggalkan temannya dalam tanya.
Kak Laisa jauh lebih penting dari segala hal..
"Ya Allah, aku mohon, meski hamba begitu jauh dari wanita-wanita mulia pilihanmu, hamba mohon kokohkanlah kaki Laisa seperti kaki Bunda Hajra saat berlarian dari Safa-Marwah.... Kuatkanlah kaki Laisa seperti kaki Bunda Hajra demi anaknya Ismail.... Mereka tidak boleh melihat aku sakit...." -Laisa (page 288)
Perjalanan mereka kembali ke Lembah Lahambay tidaklah mudah. Di dalam perjanan, teringat bagaimana pengorbanan Kak Laisa dulu. Dan balasan apa yang mereka perbuat. Segala tangis, penyesalan, dan kecewa terhadap diri sendiri membaur menjadi satu. Alur maju mundur menghiasi tiap halaman. Menyelami kisah masa kecil mereka bersama Kak Laisa yang menakjubkan. Kak Laisa yang pasti membuat iri setiap kakak. Dan membuat iri setiap adik yang belum mengenal sosok kakak seperti Kak Laisa. This novel is hardly recommended since I gave 5 stars! :)
salah satu novel terbaim tere liye yang sesuai banget buat pelajaran hidup
ReplyDeleteiya. aku kagum sama kak Lais. :)
DeleteBuku ini bikin malu. Masa aku mewek ditengah kantor gara-gara baca buku ini >.<
ReplyDeleteTapi memang bagus sih bukunya...
Kalau aku baca buku ini bukan malu karena meweknya, tapi karena malu sebagai kakak aku kalah jauh sama Kak Laisa. -,-
Delete