Penulis : Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : Januari 2012
Halaman : 512
ISBN : 978-979-22-7913-9
Tidak ada yang mudah dalam cinta. Biarkan semua mengalir bagai sungai Kapuas. Maka kita lihat, apakah aliran perasaan itu akan semakin membesar hingga tiba di muara atau habis menguap di tengah perjalanan.
Novel-novel karya Tere Liye termasuk novel-novel yang aku sukai. Dan, tentu saja, aku tak pernah keberatan melahapnya. Terlepas dari bahasanya yang unik, novel-novel Tere Liye selalu mengambil tema sederhana, namun bermakna. Itulah yang membuat karya-karya Tere Liye ini spesial dan meninggalkan kesan yang dalam.
Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah adalah kisah cinta sederhana, di tempat yang sederhana, dan karakter utama sederhana pula. Dari dulu aku sudah berniat membeli buku ini. Tapi, karena harganya yang terbilang mahal dan tebalnya juga lumayan, aku memutuskan untuk membelinya saat liburan semester saja. Mumpung banyak waktu senggang dan uang untuk memborong novel sudah bersedia untuk dibelanjakan. Dan sejak pertama beli aku sudah yakin, aku tidak akan kecewa membaca karya Tere Liye yang satu ini.
“Dunia ini terus berputar. Perasaan bertunas, tumbuh mengakar, bahkan berkembang biak di tempat yang paling mustahil dan tidak masuk akal sekalipun. Perasaan-perasaan kadang dipaksa tumbuh di waktu dan orang yang salah.” –Ibu Kepsek (page 146)
Dan angpau merah itulah awal dari segala cerita. Tentang Borno, si bujang berhati paling lurus di sepanjang tepian Kapuas. Tentang Borno yang selalu penasaran akan hal baru dan tak pernah lelah belajar. Tentang Borno yang kepalanya dipenuhi berbagai pertanyaan. Termasuk pertanyaan paling sulit jawabannya. Pertanyaan akan cinta. Pertanyaan yang semakin meningkat kadarnya ketika bertemu dengan gadis sendu menawan itu, Mei.
Kisah tentang Borno ini bukanlah kisah cinta picisan. Kisah ini tentang cinta pertama yang manis. Cinta yang menciptakan kisahnya sendiri, bukan cinta yang memaksakan harus seperti ini. Juga cinta yang tulus dan selalu memberi, bukan cinta yang mengharapkan imbalan. Dan cinta yang selalu bersabar, tidak menuntut penjelasan.
Borno, bujang berhati paling lurus sepanjang tepian Kapuas. Sesuai dengan julukannya, dia pemuda yang baik. Pemuda yang polos dan tabu soal cinta. Pemuda yang memiliki hati sempurna. Pemuda yang memiliki sifat setia. Dan selalu menepati janjinya. Cintanya pada Mei tidak pernah luntur sedikit pun. Cinta pertama yang mengajarinya berbagai hal.
Borno disegani para tetangga, meskipun pada awalnya dimusuhi karena Bang Togar yang sok berkuasa itu menempelkan foto Borno besar-besar di dekat dermaga, sudah seperti buronan saja. Padahal dia hanya bekerja di pelampung tanpa niat melanggar perjanjian dengan pengemudi sepit lainnya. Tapi, siapa sih, yang tidak akan menyukai pemuda baik seperti Borno? Dia memang pemuda idaman. Berikut beberapa hal yang membuatku terpesona pada sosok Borno.
“Aku malu sudah memegang tangannya. Itu dosa.” Aku mendengus sebal.
“Bukankah kau sendiri yang bilang itu tidak disengaja?” Andi menepuk dahi. “Kenapa mesti malu? Apa pula dosanya?” (page 118)
“…Ada yang lebih berharga dibanding uang. Apalah itu artinya transaksi jual-beli, kauperbaiki motornya, kau dapat bayaran. Dua-tiga hari, sudah lupa dia. Beda halnya dengan utang budi…” –Borno (page 181)
Beruntung pula dia karena bertemu dengan gadis peranakan Cina, si sendu menawan bernama Mei. Gadis yang baik dan cerdas itu kerap kali naik sepit Borno. Si Borno hanya bisa mencuri-curi pandang saja, malu-malu memulai pembicaraan. Boro-boro memulai pembicaraan, mengatakan ‘hai’ saja bibirnya gemetar. Jadilah Borno hanya bisa bertemu si sendu menawan 15 menit sehari. Dan menunggu 23 jam 45 menit untuk bertemu dengannya lagi.
Tokoh yang paling aku sukai di sini selain Borno adalah Pak Tua. Sungguh, aku ingin sekali mempunyai ayah seperti Pak Tua. Bijaksana. Meskipun sering menggoda Borno tentang si sendu menawan, berbicara dengan Pak Tua selalu menyenangkan. Banyak hal yang selalu beliau bagi kepada Borno dan yang lain. Salah satunya tentang sahabat Pak Tua, kisah tentang si Fulan dan si Fulani. Pasangan yang sempurna dalam ketidaksempurnaan. Sungguh aku terharu menyimak kisah Fulan dan Fulani yang selalu bertahan, selalu bersama, dan saling menyempurnakan satu sama lain. Kisah cinta yang memang jarang terjadi di dunia nyata.
“…Perasaan adalah perasaan, meski secuil, walau setitik hitam di tengah lapangan putih luas, dia bisa membuat seluruh tubuh jadi sakit, kehilangan selera makan, kehilangan semangat. Hebat sekali benda bernama perasaan itu. Dia bisa membuat harimu berubah cerah dalam sekejap padahal dunia sedang mendung, dan di kejap berikutnya mengubah harimu jadi buram padahal dunia sedang terang benderang.” –Pak Tua (page 132)
“Ya, cinta itu macam musik yang indah. Bedanya, cinta sejati akan membuatmu tetap menari meskipun musiknya telah lama berhenti.” –Pak Tua (page 167)
“Cinta adalah perbuatan. Kata-kata dan tulisan indah hanyalah omong kosong.” –Pak Tua (page 173)
“Ah, cinta selalu saja misterius. Jangan diburu-buru, atau kau akan merusak jalan ceritanya sendiri.” –Pak Tua (page 288)
“…Perasaan itu tidak sesederhana satu ditambah satu sama dengan dua. Bahkan ketika perasaan itu sudah jelas bagai bintang di langit, gemerlap indah tak terkira, tetap saja dia bukan rumus matematika. Perasaan adalah perasaan.” –Pak Tua (page 355)
Kisah ini mengalir tanpa hambatan seperti aliran air sepanjang Kapuas yang tenang. Tere Liye memang lihai merangkai kata demi kata. Membuat pembaca terhibur lewat lelucon yang disampaikan melalui tingkah ibu-ibu sepanjang tepian Kapuas yang memuji Borno, Pak Sihol yang sabun mandinya nyemplung ke Kapuas karena sepit Borno, sikap salah tingkah Borno saat bertemu Mei, dan ulah setiap pengemudi sepit yang konyol, terutama Jauhari yang hobi mengupil. Ditambah lagi dengan kisah ini diceritakan melalui sudut pandang Borno. Aku geleng-geleng kepala saja dengan pemikiran Borno yang terkadang konyol.
Di novel yang satu ini, aku seperti biasa tidak bosan melahap setiap kata. Meresapi baik-baik. Dan merasa hangat setiap kali Pak Tua mengatakan kata-kata bijak. Juga merasa geli sendiri saat Bang Togar yang galak memberikan tips cinta untuk Borno. Yang membuatku bersyukur membaca novel ini adalah aku mendapatkan banyak pelajaran. Sebagian dari petuah cinta yang dilontarkan Pak Tua dan sebagian lagi berasal dari keseharian Borno.
Tapi, sebagus-bagusnya buku, pastilah ada kurangnya.
Sebenarnya kekurangan ini jarang aku temukan di karya-karya Tere Liye sebelumnya. Ada banyak typografi, mungkin editornya (kalau ada) kurang teliti.
Halaman 35: Aku menelon ludah. Seharusnya menelan.
Halaman 427: Apa susanya dia… Seharusnya susahnya.
(Sebenarnya masih ada yang lain, tapi nggak mungkin disebutin satu-satu).
Untungnya, typografi-nya tidak parah seperti novel lain yang pernah aku baca. Yah, lumayan, masih bisa dimaklumi. Lepas dari masalah typografi, aku ingin mengomentari bagian akhir dari novel Tere Liye yang satu ini. Menurutku, bagian akhir disampaikan terlalu buru-buru dan kurang.. nancep di hati. Entahlah, ada sedikit kekecewaan saat membaca bagian epilog yang begitu singkat dan terkesan.. memaksa. Tadinya, aku ingin memberikan 5/5 bintang untuk Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah ini. Tapi, karena masalah typografi dan epilog yang terkesan buru-buru, aku hanya bisa memberi 4/5 bintang. :)
nb: Btw, aku ikut lomba resensi Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah
yang diadakan Gramedia. Doakan aku menang yaa. :D
(sebenernya pengen ngerebut juara harapan,
biar dapet paket buku! hehehe)
hoho, saya doain deh dapet paket buku :)
ReplyDeleteAmiin. Makasih. :D
DeleteSalam kenal, mba. Saya juga penggemar novel2nya bang Tere dan udah baca semua novelnya yang udah terbit. Tinggal bikin reviewnya. hehehe Kalau berkenan, silakan mampir ke blog saya http://arahmatjatnika.web.id. Belum ada review buku nya, sih. Tapi sudah ada rencana. Makasih sebelumnya.
ReplyDeleteSalam kenal juga, Arahmat. Happy reviewing books! :)) Kalau mau, bisa gabung di BBI juga lho. *malah promosi* :p
Delete