Penulis : Windry Ramadhina
Penerbit : Gagas Media
Tahun Terbit : Mei 2012
Halaman : 312
ISBN : 978-979-780-562-3
Seperti kata mbak Windry, novel ini ditujukan untuk mereka yang merindukan rumah, tempat berbagi cinta, kenangan, dan tawa yang tak pernah pudar. Aku sendiri merasa cocok membaca buku ini. Karena aku memang selalu merindukan rumah. Yah.. meskipun aku tidak berada jauh dari rumah, melainkan selalu di rumah. Bukan itu yang aku maksud. Rumah disini memiliki arti ambigu. Home Sweet Home.
Aku menikmati membaca novel ini. Pelan-pelan. Agar tak cepat kuselesaikan. Kunikmati baris demi baris perlahan. Tapi sayang, membaca memang tidak pernah selama itu. Ada saja faktor yang membuat kita ingin cepat selesai membaca. Ending yang ditunggu-tunggu..
Cinta itu egois, sayangku. Dia tak akan mau berbagi.
Dan seringnya, cinta bisa berubah jadi sesuatu yang jahat. Menyuruhmu berdusta, berkhianat, melepas hal terbaik dalam hidupmu. Kau tidak tahu sebesar apa taruhan yang sedang kau pasang atas nama cinta. Kau tidak tahu kebahagiaan siapa saja yang sedang berada di ujung tanduk saat ini.
Kau buta dan tuli karena cinta. Kau pikir kau bisa dibuatnya bahagia selamanya. Harusnya kau ingat, tak pernah ada yang abadi di dunia—cinta juga tidak. Sebelum kau berhasil mencegah, semua yang kau miliki terlepas dari genggaman.
Kau pun terpuruk sendiri, menangisi cinta yang akhirnya memutuskan pergi.
Mahoni bekerja sebagai arsitek di Virginia. Bersama Ron, ia meniti karir di perusahaan itu. Menggapai mimpi suatu hari nanti bisa bekerja bersama Guggenheim. Dalam pelariannya ke Virginia, Mahoni selalu dibayang-bayangi masa lalunya. Apalagi setelah ia mendengar pesan yang ditinggalkan papanya di apartemen. Belum sempat ia mendengar keseluruhan pesan suara itu, ia sudah mematikan pesan itu. Tidak sudi mendengar lebih lagi.
Beberapa hari kemudian, ia ditelepon Om Ranu, kerabat ayahnya. Meskipun sungkan, ia tetap menjawab telepon itu. Om Ranu menelepon bukan untuk sekadar menanyakan kabar, melainkan memberi kabar penting untuk Mahoni. Papa dan mama tirinya, Grace, mengalami kecelakaan dan mereka berdua dikabarkan meninggal. Mahoni langsung kembali ke Jakarta. Meskipun sebenarnya ia enggan.
Cepat atau lambat, sesuatu yang kita miliki akan hilang dan yang tertinggal kemudian cuma rasa benci.
Mahoni kini berada di rumah Papa. Duduk di ruang keluarga bersama Om Ranu. Dari gelagatnya, Mahoni tahu Om Ranu ingin mengatakan sesuatu. Dan firasatnya sendiri tidak enak. Bukan hanya karena dirinya masih capek karena penerbangan yang super lama, tapi juga karena apa yang akan dikatakan Om Ranu. Dengan wajah lelah, Om Ranu meminta Mahoni untuk tinggal disini, menjaga Sigi. Oh, tentu saja amarah Mahoni menggelegak. Bagaimana mungkin dia mau mengurus anak Grace? Mae pasti akan mengamuk jika ia tahu Mahoni mengurus anak dari wanita sialan itu. (oh ya, Mae ini mamanya Mahoni. Tapi sudah lama Mahoni tidak memanggilnya mama karena dia rasa panggilan itu tidak pantas untuk Mae)
Lantas, bagaimana sikap Mahoni terhadap Sigi? Juga pandangannya terhadap anak itu, Grace, Papanya, serta Mae. Pertemuannya dengan teman lama, Simon, juga membuat ia kacau. Entah sudah berapa kali arsitek berpakaian amburadul itu memarahinya dan menegurnya dengan kata-kata sinis. Sungguh tidak pernah berubah. Bagaimana pula pandangan Mahoni tentang cinta? Jika kisah cinta Mae yang getir selalu menghantuinya.. Apakah Mahoni akan tetap berpaku pada kehidupan Mae yang getir dan gelap serta terus berkutat dengan kesedihannya? Baca sendiri di Memori. :)
Membaca Memori membangkitkan kenangan masa lalu yang pahit maupun manis. Aku sendiri merasa hangat saat mengingat kehangatan dalam keluargaku, yang syukurnya selalu ada, meskipun kehangatan itu lebih kental di masa kecil dan sekarang aku lupa.. Membaca Memori membuat aku ingin menyimpan baik-baik masa lalu yang pahit maupun manis. Bagaimana pun, masa lalu itu selalu unik. Kau pasti akan tertawa merindu jika mengenang kejadian-kejadian itu. Dan kau juga pasti akan menyadari tidak ada satupun masa lalu yang tidak meninggalkan kesan.. dan pelajaran.
Untuk Memori yang membuat aku rindu akan cokelat panas, aku beri 5 bintang sekaligus! :)
No comments:
Post a Comment