Monday, 30 April 2018

[REVIEW] A Closed and Common Orbit

"Life is terrifying. None of us have a rule book. None of us know what we're doing here. So, the easiest way to stare reality in the face and not utterly lose your shit is to believe that you have control over it." —Pepper

Judul: A Closed and Common Orbit
Serial: Wayfarers #2
Penulis: Becky Chambers
Penerbit: Hodder & Stoughton
Tahun Terbit: 2016
Halaman: 512 (e-book)
ISBN: 978-147-3621-45-9
★★★★★


Untuk yang belum baca buku pertama (The Long Way to a Small, Angry Planet), lebih baik nggak baca review ini, soalnya di awal buku kedua ada sedikit spoiler dari ending buku pertama. x)

Beberapa menit yang lalu, Lovelace adalah sebuah AI dalam pesawat luar angkasa Wayfarer. Sekarang ia terjebak dalam tubuh buatan spesies Manusia. Ia bisa mendengar, mencium bau, bahkan mencecap rasa, dengan cara yang berbeda tentunya—saat ia minum atau makan sesuatu, sebuah gambaran acak terpampang di pikirannya, gambar yang kurang lebih mendeskripsikan perasaan spesies Manusia saat mencecap minuman atau makanan tsb.

Keadaan yang baru itu membuat Lovelace sulit beradaptasi, terlebih dengan indera penglihatan barunya. Saat ia menjadi AI, ia punya mata di segala arah, baik di dalam maupun di luar Wayfarer. Namun sekarang ia harus terbiasa memusatkan pandangan pada satu arah saja, seperti spesies Manusia yang lain. Ia memang terus dibantu oleh Pepper dan Blue, tapi ia masih merasa kehilangan sesuatu.

Pepper dan Blue adalah sepasang spesies Manusia yang sengaja menempatkan Lovelace di dalam tubuh buatan—meski tergolong perbuatan ilegal—demi membantu Jenks. Pepper sendiri meskipun tergolong spesies Manusia, ia berbeda. Ia sengaja dibuat hanya untuk menjadi sumber daya manusia di pabrik, dulu sekali, saat ia belum bertemu Blue, saat ia masih dinamakan Jane ke-23 dan belum mengerti adanya tempat lain selain pabrik tempatnya hidup dan bekerja dengan Jane yang lain.

Diceritakan dari dua waktu dan sudut pandang yang berbeda, buku ini menceritakan bagaimana Lovelace menjalani kehidupan barunya sebagai spesies Manusia bernama Sidra dan bagaimana Jane ke-23 menjadi seorang Pepper yang berhasil keluar dari cangkang yang mengekang kehidupannya dan anak perempuan lain yang bernasib sama dengannya.

'Why are you doing this? Why do this for me?'
'You're an AI.'
'And?'
'And... I was raised by one.'

If you're seeking for an adventurous space floating ship, then you've hold a wrong book. This book is more to the heartwarming kind of book, pals. Berbeda dari buku sebelumnya, buku ini hanya fokus ke perjalanan Sidra dan Pepper mencari tujuan dan jati diri mereka. I didn't mind tho, it was such a marvelous journey after all!

Jika sebelumnya kita berkunjung ke beberapa planet di wilayah Galaxy Common dengan pesawat Wayfarer, maka kali ini kita dipaksa untuk tinggal di Port Coriol, salah satu planet yang merupakan pasar bagi segala spesies. Di sini, wilayah Port Coriol dibahas lebih dalam. Kita jalan-jalan melewati Undersea dimana terdapat distrik dari bermacam kelompok: Tessara Cliff, tempat bagi spesies yang banjir duit; Kukkesh, tempat tinggal para Aandrisk di Port Coriol; Bruise, tempat tinggal spesies miskin dan bermasalah; dan Sixtop, tempat bagi para penggila teknologi. Di sinilah Sidra, Pepper, dan Blue tinggal dan bekerja di toko The Rust Bucket—tech swap and fix it shop.

Yang aku suka di buku kedua ini adalah perasaan Sidra yang dijabarkan dengan detail banget, sampai aku pun ikut-ikutan merasa depresi dan linglung. Anehnya walau ketidaknyamanan Sidra terhadap tubuh barunya seringkali diulang-ulang, aku nggak bosan. ^^ Karakter baru yang jadi favoritku di sini adalah Tak, spesies Aeluon, cewek/cowok swag (serius dia kadang berubah-ubah, literally, bukan macam banci xD), pekerjaan ahli tato. Aeluon ini merupakan spesies yang mirip bunglon. Kalau bunglon ganti warna untuk melindungi diri dari musuh, maka tubuh Aeluon ganti warna berdasarkan perasaan yang mereka rasakan saat itu. Spesies ini sensitif banget sama warna (dan asap rokok). Anyway aku sukaaaa banget persahabatan Sidra dan Tak ini!!! Saking sukanya aku bacanya disayang-sayang biar nggak cepet habis... :p

Nggak cuma bagian Sidra aja yang ngebuat aku sayang-sayang ngebaca buku ini, masa lalu Pepper sebagai Jane ke-23 pun nggak kalah seru. Well.. awalnya emang depressing sih. Di salah satu planet, pabrik-pabrik sengaja memproduksi manusia untuk dijadikan sumber daya (yah, karena dibanding robot, ngebuat manusia kan lebih murah, kata mereka.., lebih pintar pula). Nah, anak-anak perempuan hasil pabrik berusia 10 tahun yang semuanya dikasih nama Jane ini nantinya menyortir dan memperbaiki mesin-mesin rusak yang dibawa ke pabrik mereka. Para Jane diawasi oleh para Mother, robot-robot AI yang diprogram untuk memastikan para Jane nggak ngelakuin hal selain mandi makan kerja tidur—nggak boleh tertawa menangis atau melakukan hal manusiawi lainnya. Mereka bahkan nggak tahu ada dunia yang luas di luar pabrik... hmph! This whole stuff really made my heart breaking in pieces! Then how could Jane 23 get through it? Just read it by yourself, nah! xD

Jujur aja aku bingung mau gimana lagi nulis review ini (I've been writing this since THIS MORNING, damn it!). I enjoyed it, yes, so much! Beberapa bagian bikin aku berkaca-kaca. Beberapa bagian bikin aku tertawa karena geli. Ada pula bagian yang bikin aku tersenyum haru. This book is too much for me! And I'm sorry if this review is non other than just talking about how good this book is. I even don't know how to make a closing sentence properly. I just wanna hit 'Publish' button right away hahahah. xD *beneran langsung klik 'Publish'*

Now I'm dying to read the third book yang bahkan belom rilis! T-T

The planet was beautiful. The planet was horrible. The planet was full of people, and they were beautiful and horrible, too. They'd made a mess of everything, and she was leaving now, and she was never coming back. —Jane 23, Age 19

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...