"Apakah bumi memang seburuk itu? Semuanya hobi sekali mati, akhir-akhir ini." —Hades (hal. 10)
Judul: Purple Eyes
Penulis: Prisca Primasari
Desain Sampul: Chyntia Yanetha
Penerbit: Inari
Tahun Terbit: 2016
Halaman: 144
ISBN: 978-602-74322-0-8
I rate it 4/5 stars
Hades—atau sering dikenal sebagai Dewa Kematian—merasa bosan. Belakangan ini, calon mantan-manusia yang sekarat lebih memilih untuk mati daripada kembali hidup ke dunia. Kebanyakan dari mereka adalah manusia yang mati dengan cara tak wajar: diambil levernya. Begitu pun dengan calon mantan-manusia yang datang hari itu. Pemuda rupawan bermata biru gelap cenderung ungu tersebut juga lebih memilih untuk mati—dan omong-omong, juga diambil levernya.
Entah apa yang sebenarnya terjadi di bumi. Lyre, asisten Hades, menganggap hal itu ganjal dan menyarankan Hades untuk turun ke bumi sebelum ada korban lagi. Namun, sebelum ada perintah, Hades tidak akan ke sana. Sampai sebulan kemudian turun perintah untuk Hades, lalu Hades turun ke bumi bersama dengan Lyre. Kali ini tujuan mereka adalah Trondheim, Norwegia, mengunjungi rumah salah satu korban.
Ivarr Amundsen, keluarga korban yang mereka kunjungi, mirip dengan pemuda rupawan yang baru-baru ini mengunjungi tempat Hades: sama-sama bermata biru gelap namun cenderung ungu. Namun, Ivarr seperti patung lilin, tidak pernah menunjukkan ekspresi apa pun. Mati rasa. Tujuan Hades—atau selama di bumi dipanggil Halstein—dan Lyre—atau kita panggil saja Solveig—adalah membuat Ivarr kembali merasa, sebelum akhirnya mengincar pelaku pembunuh sesungguhnya.
Berhasilkah mereka—atau tepatnya Solveig—membuat pemuda patung lilin itu kembali merasa? Dan apa tepatnya rencana Halstein untuk mengakhiri pembunuhan keji itu sampai melibatkan Ivarr?
"Puple Eyes? Kau kesal padanya. Kenapa membuat puisi tentangnya?"
"Ini cuma iseng."
"Jangan jatuh cinta padanya. Sebaliknya, buat dia jatuh cinta kepadamu."
(hal. 42)
Sudah lumayan lama aku nggak membaca karya Mbak Prisca. Sampai suatu hari mampir ke review salah satu BBIers yang lagi bahas buku ini, lalu timbullah rasa kangen itu. Kangen pengin baca tulisan Mbak Prisca yang sederhana namun sanggup bikin aku tersenyum lalu merasa hangat.
Buku ini sudah sampai di rumahku sejak awal Mei, tapi dasar akunya pemalas, bulan ini nyaris nggak baca buku dan update blog sama sekali. Bahkan buku tipis karya Mbak Prisca yang tadinya bikin kangen pun nggak kunjung dibaca, padahal udah kubawa kemana-mana. :') Sampai akhirnya kemarin sore, sambil nunggu donlotan drakor, aku iseng baca prolog buku ini. What happened next? Hades langsung mengisi pikiranku! xD
Maaf Ivarr, meski karakter di buku ini kamu, aku lebih suka Hades. Soalnya Hades garang-garang keren gitu sih. Kalo Ivarr meski nggak bisa merasa dan terkesan dingin, sifat terlalu-baik Ivarr itu nggak akan pernah bisa hilang. (Then Hades said: "sorry for interrupting your high-fantasy, lady, but now you better continue this review before I rip your heart out!") T-T
Kalau dibaca dari sinopsis, buku ini kelihatannya berat banget yak! Mitologinya ada, trus kasusnya kasus pembunuhan berantai lagi. Sekilas pas baca sinopsis di atas sebagian orang bakal mikir dua kali untuk baca Purple Eyes. Namun, buku ini termasuk ringan banget untuk kategori mitologi dan mungkin sedikit thriller. Dikarenakan jumlah halamannya yang tipis, nggak perlu penyelesaian yang rumit, namun tetap masuk akal. Dan lagi, fokus di buku ini bukan di pembunuhan itu kok, melainkan tentang membuat Ivarr kembali merasa dengan bantuan Solveig. Lagi-lagi kisah cinta yang manis dari Mbak Prisca. Tapi tetep lho, Mbak, I'm Solveig-Hades shipper. x) *dilempar telur dadar*
Untuk sampul, aku suka bangeeet! Sampulnya emang sederhana sih, tapi aku suka kesan klasik yang ditunjukkan. Sesuai sama kesan klasik yang aku dapatkan setelah mengenal Solveig, asisten Hades itu. Suka suka sukaaa! Mungkin kapan-kapan kalau aku kangen Hades dan Solveig, aku bakal baca ulang buku ini. :p
Bagi yang suka baca kisah romance dengan sentuhan mitologi, silahkan baca Purple Eyes! Semoga kalian suka buku ini seperti aku menyukainya. ;)
"Bukankah lebih baik tidak merasa sama sekali, daripada merasa sakit?"
"Saya mengerti. Tapi seringkali, lebih baik merasa sakit, daripada tidak bisa merasa sama sekali."
(hal. 95)
No comments:
Post a Comment