Sophie loved books beyond reason. Indeed, she loved them more than she loved the world around her. It was the very thing that made her unique, until it made her dangerous. But we are getting ahead of ourselves, which is also dangerous. So light a lamp and find a comfortable chair, and I will tell you her story.(no spoiler from the first book)
Judul: Sophie Quire and the Last Storyguard
Serial: Peter Nimble #2
Penulis: Jonathan Auxier
Penerbit: Amulet Books
Tahun: 2016
Halaman: 464 (e-book ver.)
ISBN: 978-141-9717-47-5
I rate it 5/5 stars
Sophie Quire dalam masalah besar. Tak lama lagi, Inquisitor Prigg akan membakar seluruh buku fiksi yang ada di kota kecil Bustleburgh. Hampir seluruh buku sudah dikumpulkan di gerobak di lapangan tempat Pyre Day berlangsung nanti, siap untuk dibakar! Yang tersisa hanyalah beberapa buku fiksi pribadi yang nanti akan langsung dilempar ke dalam api oleh para penduduk dan buku milik Quire & Quire, toko buku sekaligus rumah bagi Sophie dan ayahnya.
Kenapa Inquisitor Prigg ngotot ingin membakar seluruh buku di kota itu? Yah.. katanya fiksi tidak baik untuk generasi muda, mengisi pikiran generasi muda dengan khayalan-khayalan yang tidak ada gunanya, dan intinya dia ingin kota itu menjadi kota yang modern dan bersih dari hal-hal tidak masuk akal lainnya. Oh, anyway, ini dia pengumuman Pyre Day..
Jadi, setiap tahun, tepatnya saat musim gugur, ada saja Hal-hal Tidak Masuk Akal yang dibakar. Mulai dari benda-benda yang pernah dimiliki manusia kerdil, benda-benda yang bisa bicara, tanaman-tanaman ajaib, dan hal lain yang memiliki kategori magis, sampai akhirnya.. buku cerita.
Kalau kalian pecinta buku garis keras seperti Sophie Quire, kalian pasti nggak akan tinggal diam melihat buku-buku favorit kalian dibakar. Terlebih lagi Sophie ini seorang bookmender! Jangankan melihat buku dibakar, melihat buku yang rusak sedikit saja Sophie langsung bersikeras akan memperbaiki buku itu, persis seperti seorang ibu yang mengobati anaknya yang sakit. (Oke, tahu Sophie seorang bookmender aja aku udah langsung suka!!!)
Seperti malam itu, Sophie diam-diam menuju lapangan tempat Pyre Day berlangsung. Ia mencuri tiga buku menarik dari tumpukan yang akan dibakar. Sayangnya, ia ketahuan. Pencurian buku itu menyebabkan ia dikejar-kejar oleh para penjaga Hal-hal yang Tidak Masuk Akal, dan akhirnya mengundang Inquisitor Prigg ke tempat kejadian. Tidak hanya dikerumuni oleh Inquisitor Prigg dan antek-anteknya, hari itu seorang anak laki-laki yang memakai penutup mata dan kucing dengan tapal kuda datang menyelamatkannya..
Sampai di sini udah bisa ditebak kan siapa dua penyelamat itu.. xD
Yaps! Siapa lagi kalau bukan Peter Nimble, pencuri terhebat, dan Sir Tode, ksatria kita yang nyentrik. Ini salah satu dari banyak alasan kenapa aku suka buku ini: hero buku sebelumnya dipadu sama hero di buku selanjutnya! Review ini no spoiler dari buku pertama lho, ya. Jadi, kalian bisa baca review ini meski belum baca buku pertama. Juga.. prolog review kali ini mungkin agak panjang, karena jujur saja aku beneran bingung gimana mau nulis review-nya tanpa ngasih tahu tentang asal usul pembasmian Hal-hal Tidak Masuk Akal itu. x)
Sejak peristiwa hari itu, besoknya Peter dan Sir Tode lagi-lagi menemui Sophie. Atas perintah Profesor Cake, mereka berdua meminta Sophie untuk memperbaiki sebuah buku tua. Meski tadinya Sophie menolak karena menganggap mereka berdua aneh (yang tetap saja Sophie terkejut—dalam artian baik—saat mendapati kucing aneh itu bisa bicara xD), ia akhirnya bersedia memperbaiki buku tua itu.
Malam itu juga, karena rasa penasaran, Sophie langsung memperbaiki buku tua misterius itu. Namun, setelah buku itu diperbaiki, hal aneh terjadi saat Sophie tidak sengaja bertanya dengan kata tanya Siapa. Buku misterius itu HIDUP! Iya, kalian nggak salah baca, bukunya HIDUP! Saat Sophie bertanya dengan kata tanya Siapa, buku itu langsung membalik dengan sendirinya dan menampilkan halaman tentang orang yang ditanya Sophie!
Buku itu adalah salah satu dari empat buku ajaib: THE BOOK OF WHO (buku yang dipegang Sophie), THE BOOK OF WHAT, THE BOOK OF WHERE, dan THE BOOK OF WHEN.
Sejak memiliki The Book of Who, hidup Sophie berubah. Dari buku itu, ia menyadari kalau ibunya yang telah mati adalah pemilik sebelumnya dari The Book of Who. Dari buku itu, ia menyadari kenyataan kalau ibunya mungkin terbunuh. Halaman yang disobek saat ia bertanya siapa pembunuh ibunya menguatkan dugaannya. Tidak hanya itu, karena tidak sengaja ketahuan oleh Inquisitor Prigg, si maniak penghancur buku itu bersikeras ingin menghancurkan The Book of Who. Belum lagi pengejaran dari satu-satunya penyihir di kota, Madam Eldritch dan tanaman mandrake berbentuk manusia yang jelas-jelas juga mengincar empat buku ajaib. Sophie pun terjun ke petualangannya sendiri: mencari sedikit demi sedikit petunjuk kematian ibunya dari buku ajaib, sekaligus menyelamatkan buku-buku yang akan dibakar saat Pyre Day.
Fantasi dicampur petualangan anak-anak dicampur misteri dan lagi.. tentang buku! Gimana aku nggak favoritin buku ini coba?! Paket komplit plit!
Dibanding buku sebelumnya, aku jauh lebih menikmati Sophie Quire and the Last Storyguard ini. Bukan hanya karena buku yang hidup itu ya, well itu poin yang keren banget sih menurutku. Kalau aku punya empat buku itu rasa bahagiaku mungkin bakal melebihi bahagia saat lebaran dan dapet THR. xD Aku bisa nanya tentang apa pun: dari Siapa yang disenengincalon gebetan, Apa yang sekarang dilakuin calon gebetan, Dimana calon gebetan tinggal, sampai Kapan calon gebetan bakal ngelamar. Errr.. kalau dipikir-pikir, pertanyaan barusan kok agak ngeri ya...
Alasan lainnya karena tulisan Jonathan Auxier seperti sihir bagiku, bener-bener kayak punya enchantment magic. Meskipun Jonathan Auxier bukan pencipta dunia khayalan yang super keren seperti dunianya J.R.R Tolkien dan Brandon Mull, Auxier lolos jadi penulis fantasi favoritku karena tulisannya yang cantiiiiik banget! Di review sebelumnya kan udah kubilang, Auxier itu nulis buku kayak lagi ngobrol sama pembacanya (setidaknya itu yang aku rasain pas baca tulisannya Auxier, entah efeknya bakalan sama atau nggak bagi temen-temen sekalian..), dan di buku ini juga masih begitu. Pengen sih baca bukunya yang lain, The Night Gardener, tapi genrenya horor. Harus kuatin mental dulu sebelum baca. xD
Meskipun hero di buku ini adalah Sophie Quire, bukan berarti Peter dan Sir Tode nggak ambil bagian. Peter masih mencuri dan membuka gembok. Peter juga masih punya mata ajaib, yang nggak seperti buku sebelumnya, di sini peran mata ajaib Peter menurutku lebih istimewa (dan romantis). :p Tapi, aku merasa di sini Peter malah jadi songong. Eh, serius.. saking bangganya dia sama kemampuannya, dia nggak segan-segan pamer sama Sophie, dan kesongongannya itu malah jadi jebakan untuk dirinya sendiri. Mungkin karena Peter lagi beranjak jadi remaja ya, makanya suka curi-curi perhatian. Sir Tode juga belum berubah, dia masih hobi membangga-banggakan dirinya dan melempar sarkasme. Dari buku ini aku juga jadi tambah yakin kalau Sir Tode memang lahir dengan keberuntungan bertahan hidup yang sedikitsangat konyol. xD
Nah.. untuk Sophie Quire sendiri. Dia jelas-jelas anak rumahan yang lebih suka ngabisin waktu membaca buku daripada main keluar rumah. Meski Sophie nggak punya kaki yang lincah untuk kabur dari musuh dan tangan yang terampil untuk membuka gembok (untunglah ini dibantu Peter xD), Sophie termasuk cerdas dan punya keyakinan yang kuat. Dan lagi.. tangannya terampil untuk hal lain, yaitu memperbaiki buku. Cara Sophie memperbaiki buku bener-bener bikin kagum sekaligus iri. Sebelum ia memperbaiki sampul dan sisi buku yang rusak, dengan hati-hati ia meluruskan setiap halaman dan membacanya perlahan untuk menjiwai setiap buku. Seperti yang kubilang tadi, seperti seorang ibu yang ngobatin anaknya yang sakit: penuh kasih dan tulus banget. Aku belum pernah lihat bookmender di dunia nyata sebelumnya. Kalau ada, aku beneran pengin ketemu, pengin lihat secara langsung gimana cara memperbaiki buku yang rusak.
Untuk Inquisitor Prigg, ugh.. I really hate this monster. Tega-teganya dia membakar buku—yang menurutnya merupakan salah satu dari nonsense—dengan alasan yang bahkan lebih nggak masuk akal. Dan aku lebih benci lagi sama kenyataan kalau dalam kenyataan ada lumayan banyak Inquisitor Prigg di sekitar kita. Somehow aku merasa relate sama Sophie apa yang ia rasakan saat tahu buku-buku di seluruh kota akan dibakar. Marah atau sedih bukan kata yang tepat lah ya, tapi lebih dari itu.. apalagi pas kita tahu kita nggak bisa berbuat apa-apa.. :( Aku berharap di dunia ada lebih banyak Sophie Quire daripada Inquisitor Prigg.
Tokoh lain seperti Madam Eldritch dan mandrake miliknya yang berbentuk manusia itu (omong-omong namanya Taro), merupakan tokoh yang kusuka sekaligus kubenci. Suka karena menurutku Taro imut (meski kalau dilihat langsung memang menyeramkan), dan benci karena dia merupakan algojonya Madam Eldritch yang menginginkan buku ajaib untuk kepentingan dirinya sendiri. Tapi nggak bisa benci sepenuhnya sama Madam Eldritch juga sih, karena meski dia memperlakukan Taro seperti selayaknya tanaman ajaib yang diambil manfaatnya, dia juga sayang banget sama mandrake itu. Semoga kalian mengerti maksudku yang benci tapi suka ini ya. xD
Kalau teman-teman suka sama buku tentang buku, petualangan asyik yang seolah-olah dibacain secara langsung sama penulisnya, mungkin teman-teman bisa coba buku ini. Harus atau nggak, baca Peter Nimble dulu baru Sophie Quire? Sebenarnya nggak baca Peter Nimble masih tetep nyambung kalau langsung baca Sophie Quire. Tapi percayalah, baca Peter Nimble duluan malah lebih baik karena tak kenal maka nanti bingung itu bocah kecilsongong siapa dan muncul darimana. xD
Catatan: aku benar-benar berharap buku ini bakal segera diterjemahin biar Peter Nimble yang versi terjemahan nggak kesepian di rak. 😄
Well.. sebelum benar-benar menutup review ini, ada baiknya aku menuliskan kalimat-kalimat dari paragraf awal buku, words that made me love this book from the start. Kalimat indah yang pasti bakalan cantik dibuat typography-nya, di-print, terus dipajang di lemari buku. *this sound so lebay but I don't care, mianhae* x)
Sophie Quire dalam masalah besar. Tak lama lagi, Inquisitor Prigg akan membakar seluruh buku fiksi yang ada di kota kecil Bustleburgh. Hampir seluruh buku sudah dikumpulkan di gerobak di lapangan tempat Pyre Day berlangsung nanti, siap untuk dibakar! Yang tersisa hanyalah beberapa buku fiksi pribadi yang nanti akan langsung dilempar ke dalam api oleh para penduduk dan buku milik Quire & Quire, toko buku sekaligus rumah bagi Sophie dan ayahnya.
Kenapa Inquisitor Prigg ngotot ingin membakar seluruh buku di kota itu? Yah.. katanya fiksi tidak baik untuk generasi muda, mengisi pikiran generasi muda dengan khayalan-khayalan yang tidak ada gunanya, dan intinya dia ingin kota itu menjadi kota yang modern dan bersih dari hal-hal tidak masuk akal lainnya. Oh, anyway, ini dia pengumuman Pyre Day..
NO NONSENSE!
All citizens are compelled to attend the annual Pyre Day ceremony on the twenty-seventh of this month, storybooks in hand.
Join your fellow Bustleburghers as we cast off the shackles of childish superstition and boldly march toward a modern, sensible tomorrow!
Jadi, setiap tahun, tepatnya saat musim gugur, ada saja Hal-hal Tidak Masuk Akal yang dibakar. Mulai dari benda-benda yang pernah dimiliki manusia kerdil, benda-benda yang bisa bicara, tanaman-tanaman ajaib, dan hal lain yang memiliki kategori magis, sampai akhirnya.. buku cerita.
Kalau kalian pecinta buku garis keras seperti Sophie Quire, kalian pasti nggak akan tinggal diam melihat buku-buku favorit kalian dibakar. Terlebih lagi Sophie ini seorang bookmender! Jangankan melihat buku dibakar, melihat buku yang rusak sedikit saja Sophie langsung bersikeras akan memperbaiki buku itu, persis seperti seorang ibu yang mengobati anaknya yang sakit. (Oke, tahu Sophie seorang bookmender aja aku udah langsung suka!!!)
Seperti malam itu, Sophie diam-diam menuju lapangan tempat Pyre Day berlangsung. Ia mencuri tiga buku menarik dari tumpukan yang akan dibakar. Sayangnya, ia ketahuan. Pencurian buku itu menyebabkan ia dikejar-kejar oleh para penjaga Hal-hal yang Tidak Masuk Akal, dan akhirnya mengundang Inquisitor Prigg ke tempat kejadian. Tidak hanya dikerumuni oleh Inquisitor Prigg dan antek-anteknya, hari itu seorang anak laki-laki yang memakai penutup mata dan kucing dengan tapal kuda datang menyelamatkannya..
Sampai di sini udah bisa ditebak kan siapa dua penyelamat itu.. xD
Yaps! Siapa lagi kalau bukan Peter Nimble, pencuri terhebat, dan Sir Tode, ksatria kita yang nyentrik. Ini salah satu dari banyak alasan kenapa aku suka buku ini: hero buku sebelumnya dipadu sama hero di buku selanjutnya! Review ini no spoiler dari buku pertama lho, ya. Jadi, kalian bisa baca review ini meski belum baca buku pertama. Juga.. prolog review kali ini mungkin agak panjang, karena jujur saja aku beneran bingung gimana mau nulis review-nya tanpa ngasih tahu tentang asal usul pembasmian Hal-hal Tidak Masuk Akal itu. x)
Sejak peristiwa hari itu, besoknya Peter dan Sir Tode lagi-lagi menemui Sophie. Atas perintah Profesor Cake, mereka berdua meminta Sophie untuk memperbaiki sebuah buku tua. Meski tadinya Sophie menolak karena menganggap mereka berdua aneh (yang tetap saja Sophie terkejut—dalam artian baik—saat mendapati kucing aneh itu bisa bicara xD), ia akhirnya bersedia memperbaiki buku tua itu.
Malam itu juga, karena rasa penasaran, Sophie langsung memperbaiki buku tua misterius itu. Namun, setelah buku itu diperbaiki, hal aneh terjadi saat Sophie tidak sengaja bertanya dengan kata tanya Siapa. Buku misterius itu HIDUP! Iya, kalian nggak salah baca, bukunya HIDUP! Saat Sophie bertanya dengan kata tanya Siapa, buku itu langsung membalik dengan sendirinya dan menampilkan halaman tentang orang yang ditanya Sophie!
Buku itu adalah salah satu dari empat buku ajaib: THE BOOK OF WHO (buku yang dipegang Sophie), THE BOOK OF WHAT, THE BOOK OF WHERE, dan THE BOOK OF WHEN.
Sejak memiliki The Book of Who, hidup Sophie berubah. Dari buku itu, ia menyadari kalau ibunya yang telah mati adalah pemilik sebelumnya dari The Book of Who. Dari buku itu, ia menyadari kenyataan kalau ibunya mungkin terbunuh. Halaman yang disobek saat ia bertanya siapa pembunuh ibunya menguatkan dugaannya. Tidak hanya itu, karena tidak sengaja ketahuan oleh Inquisitor Prigg, si maniak penghancur buku itu bersikeras ingin menghancurkan The Book of Who. Belum lagi pengejaran dari satu-satunya penyihir di kota, Madam Eldritch dan tanaman mandrake berbentuk manusia yang jelas-jelas juga mengincar empat buku ajaib. Sophie pun terjun ke petualangannya sendiri: mencari sedikit demi sedikit petunjuk kematian ibunya dari buku ajaib, sekaligus menyelamatkan buku-buku yang akan dibakar saat Pyre Day.
"Wanting more out of life isn't something to apologize for, Sophie Quire. I hope you figure that out before it's too late." —Peter Nimble
Fantasi dicampur petualangan anak-anak dicampur misteri dan lagi.. tentang buku! Gimana aku nggak favoritin buku ini coba?! Paket komplit plit!
Dibanding buku sebelumnya, aku jauh lebih menikmati Sophie Quire and the Last Storyguard ini. Bukan hanya karena buku yang hidup itu ya, well itu poin yang keren banget sih menurutku. Kalau aku punya empat buku itu rasa bahagiaku mungkin bakal melebihi bahagia saat lebaran dan dapet THR. xD Aku bisa nanya tentang apa pun: dari Siapa yang disenengin
Alasan lainnya karena tulisan Jonathan Auxier seperti sihir bagiku, bener-bener kayak punya enchantment magic. Meskipun Jonathan Auxier bukan pencipta dunia khayalan yang super keren seperti dunianya J.R.R Tolkien dan Brandon Mull, Auxier lolos jadi penulis fantasi favoritku karena tulisannya yang cantiiiiik banget! Di review sebelumnya kan udah kubilang, Auxier itu nulis buku kayak lagi ngobrol sama pembacanya (setidaknya itu yang aku rasain pas baca tulisannya Auxier, entah efeknya bakalan sama atau nggak bagi temen-temen sekalian..), dan di buku ini juga masih begitu. Pengen sih baca bukunya yang lain, The Night Gardener, tapi genrenya horor. Harus kuatin mental dulu sebelum baca. xD
Meskipun hero di buku ini adalah Sophie Quire, bukan berarti Peter dan Sir Tode nggak ambil bagian. Peter masih mencuri dan membuka gembok. Peter juga masih punya mata ajaib, yang nggak seperti buku sebelumnya, di sini peran mata ajaib Peter menurutku lebih istimewa (dan romantis). :p Tapi, aku merasa di sini Peter malah jadi songong. Eh, serius.. saking bangganya dia sama kemampuannya, dia nggak segan-segan pamer sama Sophie, dan kesongongannya itu malah jadi jebakan untuk dirinya sendiri. Mungkin karena Peter lagi beranjak jadi remaja ya, makanya suka curi-curi perhatian. Sir Tode juga belum berubah, dia masih hobi membangga-banggakan dirinya dan melempar sarkasme. Dari buku ini aku juga jadi tambah yakin kalau Sir Tode memang lahir dengan keberuntungan bertahan hidup yang sedikit
Nah.. untuk Sophie Quire sendiri. Dia jelas-jelas anak rumahan yang lebih suka ngabisin waktu membaca buku daripada main keluar rumah. Meski Sophie nggak punya kaki yang lincah untuk kabur dari musuh dan tangan yang terampil untuk membuka gembok (untunglah ini dibantu Peter xD), Sophie termasuk cerdas dan punya keyakinan yang kuat. Dan lagi.. tangannya terampil untuk hal lain, yaitu memperbaiki buku. Cara Sophie memperbaiki buku bener-bener bikin kagum sekaligus iri. Sebelum ia memperbaiki sampul dan sisi buku yang rusak, dengan hati-hati ia meluruskan setiap halaman dan membacanya perlahan untuk menjiwai setiap buku. Seperti yang kubilang tadi, seperti seorang ibu yang ngobatin anaknya yang sakit: penuh kasih dan tulus banget. Aku belum pernah lihat bookmender di dunia nyata sebelumnya. Kalau ada, aku beneran pengin ketemu, pengin lihat secara langsung gimana cara memperbaiki buku yang rusak.
"Harmless? I assure you, there is nothing harmless about filling people's heads with nonsense. Children deserve better than to be lied to about magic buttons and talking wolves. They deserve a proper, scientific education. They deserve the truth." —Inquisitor Prigg
Untuk Inquisitor Prigg, ugh.. I really hate this monster. Tega-teganya dia membakar buku—yang menurutnya merupakan salah satu dari nonsense—dengan alasan yang bahkan lebih nggak masuk akal. Dan aku lebih benci lagi sama kenyataan kalau dalam kenyataan ada lumayan banyak Inquisitor Prigg di sekitar kita. Somehow aku merasa relate sama Sophie apa yang ia rasakan saat tahu buku-buku di seluruh kota akan dibakar. Marah atau sedih bukan kata yang tepat lah ya, tapi lebih dari itu.. apalagi pas kita tahu kita nggak bisa berbuat apa-apa.. :( Aku berharap di dunia ada lebih banyak Sophie Quire daripada Inquisitor Prigg.
Tokoh lain seperti Madam Eldritch dan mandrake miliknya yang berbentuk manusia itu (omong-omong namanya Taro), merupakan tokoh yang kusuka sekaligus kubenci. Suka karena menurutku Taro imut (meski kalau dilihat langsung memang menyeramkan), dan benci karena dia merupakan algojonya Madam Eldritch yang menginginkan buku ajaib untuk kepentingan dirinya sendiri. Tapi nggak bisa benci sepenuhnya sama Madam Eldritch juga sih, karena meski dia memperlakukan Taro seperti selayaknya tanaman ajaib yang diambil manfaatnya, dia juga sayang banget sama mandrake itu. Semoga kalian mengerti maksudku yang benci tapi suka ini ya. xD
Kalau teman-teman suka sama buku tentang buku, petualangan asyik yang seolah-olah dibacain secara langsung sama penulisnya, mungkin teman-teman bisa coba buku ini. Harus atau nggak, baca Peter Nimble dulu baru Sophie Quire? Sebenarnya nggak baca Peter Nimble masih tetep nyambung kalau langsung baca Sophie Quire. Tapi percayalah, baca Peter Nimble duluan malah lebih baik karena tak kenal maka nanti bingung itu bocah kecil
Catatan: aku benar-benar berharap buku ini bakal segera diterjemahin biar Peter Nimble yang versi terjemahan nggak kesepian di rak. 😄
Well.. sebelum benar-benar menutup review ini, ada baiknya aku menuliskan kalimat-kalimat dari paragraf awal buku, words that made me love this book from the start. Kalimat indah yang pasti bakalan cantik dibuat typography-nya, di-print, terus dipajang di lemari buku. *this sound so lebay but I don't care, mianhae* x)
It has often been said that one should never judge a book by its cover. As any serious reader can tell you, this is terrible advice. Serious readers know the singular pleasure of handling a well-made book—the heft and texture of the case, the rasp of the spine as you lift the cover, the sweet, dusty aroma of yellowed pages as they pass between your fingers. A book is more than a vessel for ideas: It is a living thing in need of love, warmth, and protection.
review ini untuk BBI RRC 2017
kategori Single Point: Name In A Book
Duh, jadi ikut penasaran sama buku ini. Sayang, belum ada terjemahnya ya..
ReplyDeleteBelum ada, Ratih. Semoga aja diterjemahin secepatnya ya.. ^^
Delete